Jumat, 20 Mei 2011

KAU DINANTI UMMAT


KAU DINANTI UMMAT

SEMENJAK …………..
MANUSIA LAHIR KEALAM DUNIA
SEMUA DALAM SATU BENTUK, BENTUK MANUSIA
SEMUA DALAM SATU TUBUH, TUBUH MANUSIA
SEMUA DALAM SATU NAMA, YAITU……… NAMA MANUSIA

TAPI ……………
BIARPUN SEMUA SAMA DIRAGA
BIARPUN SEMUA SAMA DALAM JASMANINYA

NAMUN ………..
TAK MUNGKIN SEMUA SAMA DI SUKMA
TAK MUNGKIN SEMUA SAMA DI JIWA

DARI PERBEDAAN JIWA ITULAH
MANUSIA BERBEDA-BEDA DAN TAK SAMA
MAKA …………… TERSEBUTLAH

MANUSIA CENDIKIAWAN, MANUSIA AWAM
MANUSIA BERILMU, MANUSIA DUNGU
MANUSIA BERBUDI, MANUSIA PENUH BAKTI
DAN MANUSIA INI SERTA  MANUSIA ITU
MANUSIA IMORAL, DAN… MANUSIA AMORAL

KINI, UNTUK KESEKIAN KALINYA
LEMBAGA SUCI INI
AKAN MENAMPILKAN BEBERAPA
DIANTARA MANUSIA-MANUSIA ITU

TAPI ……………
MANUSIA YANG INI BUKANLAH MANUSIA SEMBARANGAN
BUKANLAH MANUSIA YANG ADA DITOLAK PUNGGUNG
BUKAN MANUSIA YANG ADA DICIBIR BIBIR
BUKANLAH MANUSIA YANG ADA DALAM SEBUTAN HINGGA DAPAT DIDENGAR
BUKANLAH MANUSIA YANG TAK NAMPAK DALAM SOROTAN PANDANGAN
DAN…………… BUKANLAH MANUSIA YANG ADA DALAM BAYANG-BAYANG

TAPI …………… MANUSIA YANG INI ADALAH MANUSIA BIASA
NAMUN LUAR BIASA DAN PENUH PESONA
ITULAH MANUSIA TELADAN, MANUSIA YANG PATUT DICONTOH
MANUSIA YANG HARUS DIBUAT CERMINAN
LAMBANG DARI SEGALA KERAJINAN DAN KETEKUNAN
BAHKAN LAMBANG DARI SEGALA KEBANGGAAN


INILAH MANUSIA YANG BERKEYAKINAN
BAHWA ILMU TIDAK SAJA BISA DIDAPAT
DARI LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN MODERN
DARI GEDUNG-GEDUNG SEKOLAH BERTINGKAT DAN BERBETON
DARI ATAS LANTAI LICIN DAN MENGKILAP
DARI SEKOLAH-SEKOLAH YANG BERTAMAN BUNGA DAN BERLABORATORIUM
ATAUPUN DARI LEMBAGA-LEMBAGA YANG MEWAH DAN MEGAH

TAPI ……………
ILMU ITU HANYA BISA DIDAPAT DENGAN KERAJINAN
DARI KETEKUNAN DAN DARI KESABARAN
BIARPUN DIGEDUNG YANG SUDAH BOBROK DAN TAK LAYAK PAKAI
BIARPUN DIGEDUNG DENGAN JENDELA-JENDELA TAK BERDAUN
BIARPUN DI GUBUK-GUBUK PAPAN YANG SUDAH TERHUYUNG
YANG PANTANG ANGIN BERTIUP TOPAN
YANG PANTANG HUJAN DERAS MENGGEBU

TOH …………… DISANA JUGA SUMBER ILMU
DISANA JUGA SUMBER BUDAYA
DISANA JUGA SUMBER PERADABAN DAN PENGETAHUAN
SUNGGUH ……………
SUNGGUH BENAR INI…………… DAN TIDAK KELIRU
MEMANG INI BETUL …………… DAN TIDAK  TAKABUR

WAHAI KAWAN DAN HANDAI TOLAN ……………
SIAPAKAH GERANGAN MANUSIA INI ?
YANG DIPUJI-PUJI SETINGGI LANGIT DAN SETEBAL BUMI
YANG MEMBUAT ORANG LAIN BERDONGKOL KARENA IRI

TUNGGULAH SAATNYA ……………
DETIK-DETIK YANG MENGHANTARKAN KITA
MENUJU KESAAT PENOBATANNYA
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
WAHAI INSAN TELADAN YANG TAK TERKALAHKAN ……………!
KAULAH KUNCUP YANG MULAI MENGEMBANG DAN MEKAR
YANG AKAN MENYERBAK WANGI DI MASYARAKAT SEKITAR

KAULAH BINTANG-BINTANG …
YANG MEMBUAT TITIK-TITIK PERMATA DILANGIT
YANG AKAN MENJADI KOMPAS BAGI NAHKODA-NAHKODA
YANG AKAN MENYAPU BERSIH BUIH-BUIH KETEPI DARATAN
YANG AKAN MEMBUAT PERAHU-PERAHU NELAYAN, MEMECAH LAUTAN

SUNGGUH JIWAMU HALUS PENUH BAKTI
SEHALUS TITIK-TITIK EMBUN DIPAGI HARI
SERTA TERLEPAS DARI DENDAM KESUMAT, PENUH DENGKI
SUNGGUH WAJAHMU CERAH CEMERLANG
SECERAH SANG FAJAR YANG MEMBERI HARAPAN
BUKAN SESURAM SUNYI YANG MENUTUP CAKRAWALA KEHIDUPAN

MURAM DI ORANG LAIN, CUMA KARENAMU
LAKSANA SURAM, DIPERAK KARENA EMAS
LASKANA PUCAT, DIKAPAS KARENA SUTRA
LAKSANA MESUM, DIKANDAS KARENA PERMATA

WAHAI INSAN TELADAN ……………
DETIK INI KAU BOLEH BERKATA “SAYA” TAK PEDULI SIAPA
DETIK INI KAU BOLEH BERGELAK TAWA, KARENA BANGGA
DETIK INI KAU BOLEH BERSAYAP TELINGA DAN BER APA SAJA

NAMUN …………… JAUHILAH…! HINDARILAH..!
BAHWA SEMUA KEBANGGAN ITU
TERSEBAB DITANGANMU PIALA BERTAHTA
TERSEBAB DILEHERMU MELINGKAR SUNTINGAN BUNGA
ATAU TERSEBAB DISEKUJUR JIWA RAGAMU
TERSIRAM DENGAN PUJI DAN PUJA

TAPI, DETIK INI KAU BOLEH BANGGA
TERSEBAB KAU TELAH DIKARUNIAI SIFAT-SIFAT YANG MULIA
KAU RAJIN …………… KAU TEKUN ……………
KAU TABAH …………… PANTANG MENYERAH

KAULAH INSAN YANG BERYAKIN HATI
BAHWA TIAP-TIAP DIRI ADALAH BERPOTENSI
HINGGA KAU PERCAYA KEPADA DIRIMU SENDIRI

ا‍‌لاعـتما د على الـنفـس اسـاس النجاح      وعلى الغـيرمـواجهةالرماح


PERCAYA KEPADA DIRI SENDIRI ADALAH PANGKAL KEBERHASILAN
DAN MENGANDALKAN ORANG LAIN, LAKSANA BERHADAPAN
DENGAN UJUNG-UJUNG TOMBAK

WAHAI PEMUDA PEMUDI CERMINAN ……………
SEMOGA INI SEMUA TAKKAN MENJADIKAN KAU CONGKAK, TAKABUR
DAN BESAR KEPALA TERSEBAB SEMUA KAWAN DAN LAWAN
TUNDUK BERSIMPUH DAN TIDAK BERDAYA
TERSEBAB SEMUA ILMU TELAH BERSARANG DIDADA
TIDAK INGATKAH FIRMAN ILAHI…


وفـوق كـل ذي عـلم عـلـيم



DIATAS SEKALIAN YANG ALIM MASIH BERSEMAYAM
DZAT YANG MAHA ALIM
WAHAI PEMUDA PEMUDI PILIHAN ……………
BUKAN INILAH TUJUAN AKHIRMU
BUKAN TERHENTI DISINI SAJALAH DERAP LANGKAH PERJUANGANMU

PERJUANGANMU BUKANLAH HANYA HARI INI
BUKAN HANYA HARI ESOK, BUKAN HANYA HARI LUSA
PERJUANGANMU MASIH DIDEPAN DAN TAKKAN BEKEPUTUSAN

SELAMA NYAWA MASIH MENEMPATI RAGAMU
SELAMA KAIN KAFAN BELUM MEMBUNGKUSMU
SELAMA DUNIA KAU TEMPATI
SELAMA LIANG KUBURMU, BELUM DIGALI
PERJUANGANMU MASIH HARUS KAU HADAPI

WAHAI PEMUDA PEMUDI TELADAN ……………
INILAH PESAN TERAKHIR UNTUKMU
SEMOGA KAN MENJADI KOMPAS PERJUANGAN SUCIMU

“KAU DINANTI UMMAT DIPUTIH FAJAR”
BUKAN DITUNGGU KELAK DI MERAH SENJA





Gorensan Pena : Al-Payudan

TOKOH-TOKOH PELOPOR PENDIDIKAN PEREMPUAN INDONESIA


TOKOH-TOKOH PELOPOR PENDIDIKAN PEREMPUAN INDONESIA


A.    Biografi Singkat Serta Peran R.A. Kartini Dalam Dunia Kependidikan

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUfldBnhfGtauPvdV7aYJqGxfQpU8SByolpxsYd11NkGLdmx4WJk5q8fclhOBzRfTpda8sYg4gOoII0UmxDxCoPDmbO0Gj3BSuDiECA5Ccmt6IFQso3rAE4sIU6uIoSdjs8qQmX4PbJ4b0/s320/kartini_1.jpgRaden Ajeng Kartini lahir di Desa Mayong, Kabupaten Jepara tanggal 21 April 1879, dari rahim Ibu Ngasirah, seorang garwo ampil Asisten Wedono Mayong, Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat. Kartini merupakan anak kelima dari 11 bersaudara, dan karena genit dan cekatan seperti burung trinil maka Kartini sering dipanggil ”Trinil”. Kartini tumbuh menjadi anak cerdas dan penuh perhatian, sabar serta bertanggung jawab. Sifat kepemimpinan dan jiwa kepeloporannya sudah terlihat sejak remaja. la tumbuh menjadi anak pandai, senang belajar dan haus ilmu pengetahuan. Namun dalam kehidupan keluarga, ia sangat terkekang. Sebagai keluarga bangsawan, Kartini harus ”dipingit” (tidak babas keluar rumah), sehingga merasa terbelenggu dengan tradisi itu.
Untuk mengurangi penderitaan batinnya, Kartini mengisi waktu dengan banyak membaca buku, kemudian menulis surat kepada sahabat-sahabatnya untuk mencurahkan segala isi hati, pemikiran dan cita-cita perjuangannya. Dari banyak pemikiran dan cita-cita perjuangan Kartini, yang paling pokok dan penting adalah keinginan kuat untuk mendobrak tradisi yang membelenggu dan merendahkan derajat kaum wanita. Kartini mendesak Pemerintah agar meninjau ulang kebijakan politiknya dan mengadakan pembaharuan yang berguna bagi masyarakat.
Akhirnya membaca menjadi kegemarannya, tiada hari tanpa membaca. Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada Bapaknya. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak hanya didapur tetapi juga harus mempunyai ilmu. Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Ditengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr.J.H Abendanon. Ia memohon diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa yang didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia ikut suaminya ke daerah Rembang. Suaminya mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Ketenarannya tidak membuat Kartini menjadi sombong, ia tetap santun, menghormati keluarga dan siapa saja, tidak membedakan antara yang miskin dan kaya.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya. Setelah Kartini wafat, Mr.J.H Abendanon memngumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis Tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Saat ini, mudah-mudahan di Indonesia akan terlahir kembali Kartini-kartini lain yang mau berjuang demi kepentingan orang banyak. Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.
Menurut Kartini, wanita harus berjuang untuk mendapatkan martabat yang sejajar dengan kaum pria. Wanita harus dididik dan dicerdaskan agar hati dan pikirannya terbuka, karena Tuhan menjadikan perempuan dan laki-laki sebagai makhluk yang memiliki derajat dan martabat yang sama. Hal ini dikenal sebagai cita-cita memperjuangkan emansipasi wanita.
Kartini ingin mengubah kedudukan perempuan, dengan memberi kesempatan dan kebebasan untuk menuntut ilmu dan diberi hak memangku jabatan dalam masyarakat. Dalam pandangan Kartini, apabila kaum wanita berpendidikan, ia akan lebih cakap dalam mendidik putra-putrinya dan mengurus rumah tangganya. Dan pengaruh lebih lanjut adalah akan memajukan bangsanya.
Kartini mengusulkan, agar anak-anak diberi pendidikan modern dan pendidikan budi pekerti, karena suatu bangsa yang tidak berbudi dan bermoral baik, pasti akan mengalami kemunduran. Bahkan lebih tegas lagi dikatakan, bahwa wanita harus menjadi soko guru paradaban. Maksudnya, warnita atau Ibu merupakan pengajar dan pendidik yang utama, dan yang sejak pertama pula saat anak masih berada dipangkuan, anak belajar merasa, berpikir dan berbicara. Dari sinilah awal manusia mengenal peradaban. ”Dipangkuan ibu itulah manusia mendapatkan didikan yang pertama ”, tegas Kartini.
Kalau kita cermati pemikiran Kartini, ternyata bidang pendidikan merupakan sesuatu yang sangat panting dalam kehidupan manusia, karena bidang ini merupakan kunci untuk meningkatkan kecerdasan dan kemajuan. Terutama kaum wanita, harus membebaskan dirinya dari keterbelangan atau kebodohannya melalui pendidikan. Dengan pendidikan, kaum wanita akan mengetahui hak dan kewajibannya, apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, serta bisa diajak untuk mengambil keputusan. Dengan modal pendidikan maka ketergantungan perempuan kepada laki-laki menjadi kecil. Oleh karena itu, kaum wanita dituntut untuk mempunyai pendidikan yang cukup.
B.     Biografi Singkat Serta Peran Dewi Sartika Dalam Dunia Kependidikan
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/2/2b/Dewi_Sartika.jpg/150px-Dewi_Sartika.jpgDewi Sartika lahir di Bandung, 4 Desember 1884 adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika ke sekolah Belanda.
Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak dari ibunya) yang berkedudukan sebagai Patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai ke-sunda-an, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genteng dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu, Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudaranya; Nyi. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga atau empat kota saja, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota Kewedanaan.
Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dewi Sartika wafat pada 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian, makamnya dipindahkan dan dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.
C.    Biografi Singkat Serta Peran Rohana Kudus Dalam Dunia Kependidikan
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgZG5bHngCW5HwiZ35Amj0drC8LfymoGseczw8wPSd-FeRNpf9zOB7fGwCtkC2mWN9YorG2UAfQ_-dVNok0Pr35aMYPnoc9O6KH9KEAEmY63XZ-yQvM8J7HgMCAn9BPrixnvWj9mgZQS5Yt/s1600/1.jpegRohana Kudus lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat, pada tanggal 20 Desember 1884, dari ibunya yang bernama Kiam dan ayahnya bernama Rasjad Maharaja Soetan. Ia adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama dan juga Mak Tuo (Bibi) dari penyair terkenal Chairil Anwar. Rohana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.
Rohana adalah seorang perempuan yang mempunyai komitmen yang kuat pada pendidikan terutama untuk kaum perempuan. Pada zamannya Rohana termasuk salah satu dari segelintir perempuan yang percaya bahwa diskriminasi terhadap perempuan, termasuk kesempatan untuk mendapat pendidikan adalah tindakan semena-semena dan harus dilawan. Dengan kecerdasan, keberanian, pengorbanan serta perjuangannya Rohana melawan ketidakadilan untuk perubahan nasib kaum perempuan.
Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal, namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai Pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuat Rohana cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam usia yang masih sangat muda Rohana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu, ia juga belajar Abjad Arab, Latin dan Arab Melayu. Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Rohana bertetangga dengan Pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Rohana belajar menyulam, menjahit, merenda dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup dan pendidikan di Eropa yang sangat digemari Rohana.
Berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya setelah kembali ke kampung dan menikah pada usia 24 Tahun dengan Abdul Kudus yang berprofesi sebagai notaris. Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada tanggal 11 Februari 1911 yang diberi nama “Sekolah Kerajinan Amai Setia”. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan Bahasa Belanda. Banyak sekali rintangan yang dihadapi Rohana dalam mewujudkan cita-citanya. Jatuh bangun memperjuangkan nasib kaum perempuan penuh dengan benturan sosial menghadapi pemuka adat dan kebiasaan masyarakat Koto Gadang, bahkan fitnahan yang tak kunjung reda menderanya seiring dengan keinginannya untuk memajukan kaum perempuan. Namun gejolak sosial yang dihadapinya justru membuatnya tegar dan semakin yakin dengan apa yang diperjuangkannya.
Selain berkiprah di sekolahnya, Rohana juga menjalin kerjasama dengan pemerintah Belanda karena ia sering memesan peralatan dan kebutuhan jahit-menjahit untuk kepentingan sekolahnya. Disamping itu juga Rohana menjadi perantara untuk memasarkan hasil kerajinan muridnya ke Eropa yang memang memenuhi syarat ekspor. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan pinjam dan jual beli yang anggotanya semua perempuan yang pertama di Minangkabau.
Banyak petinggi Belanda yang kagum atas kemampuan dan kiprah Rohana. Selain menghasilkan berbagai kerajinan, Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda. Tutur katanya setara dengan orang yang berpendidikan tinggi, wawasannya juga luas. Kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat.
Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Sumatera Barat yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan.
Kisah sukses Rohana di sekolah kerajinan Amai Setia tak berlangsung lama pada tanggal 22 Oktober 1916 seorang muridnya yang telah didiknya hingga pintar menjatuhkannya dari jabatan Direktris dan Peningmeester karena tuduhan penyelewengan penggunaan keuangan. Rohana harus menghadapi beberapa kali persidangan yang diadakan di Bukittinggi didampingi suaminya, seorang yang mengerti hukum dan dukungan seluruh keluarga. Setelah beberapa kali persidangan tuduhan pada Rohana tidak terbukti, jabatan di sekolah Amai Setia kembali diserahkan padanya, namun dengan halus ditolaknya karena dia berniat pindah ke Bukittinggi.
Di Bukittinggi Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”. Rohana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali. Rohana School sangat terkenal muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Rohana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.
Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Rohana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina dengan menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Cina.
Dengan kepandaian dan kepopulerannya Rohana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tapi ada juga laki-laki. Rohana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda. Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Rohana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.
Rohana menghabiskan waktu sepanjang hidupnya dengan belajar dan mengajar. Mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala. Namun dengan bijak Rohana menjelaskan “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Rohana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya. Untuk dapat berfungsi sebagai perempuan sejati sebagaimana mestinya juga butuh ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk itulah diperlukannya pendidikan untuk perempuan.
Demikianlah Rohana Kudus menghabiskan 88 tahun umurnya, Rohana wafat pada 17 Agustus 1972, dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Kalau dicermati begitu banyak kiprah yang telah diusung Rohana. Selama hidupnya ia menerima Penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), Perintis Pers Indonesia (1987) dan Bintang Jasa Utama (2008).
D.    Biografi Singkat Serta Peran Rahmah El-Yunusiah Dalam Dunia Kependidikan
http://inioke.com/foto/2011/04/21/thumb_2104111419_siti.jpgRahmah El-Yunusiah adalah Ia anak bungsu dari lima bersaudara, lahir dari pasangan Muhammad Yunus bin Imanuddin dan Rafiah, pada 29 Desember 1900/1 Rajab 1318 H, di Bukit Surungan, Padang Panjang. Ayah Rahmah el-Yunusiyah, Syekh Muhammad Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus (1846-1906 M) menjabat sebagai seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Selain itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Ulama yang masih ada darah keturunan dengan pembaharu Islam yang juga seorang tokoh Paderi Tuanku Nan Pulang di Rao. Ibunda Rahmah el-Yunusiyah yang biasa disebut Ummi Rafi’ah, nenek moyangnya berasal dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke Bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi Rafi’ah yang bersuku Sikumbang.
Sejak kecil ia hanya mendapat pendidikan formal sekolah dasar 3 tahun di kota kelahirannya. Kemampuannya baca tulis Arab dan Latin diperoleh melalui sekolah Diniyah School (1915) dan bimbingan kedua abangnya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid. Sore hari ia mengaji kepada Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, ayahanda Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) di surau Jembatan Besi, Padang Panjang.
Tamat dari Diniyah School, ia mengaji pada Tuanku Mudo Abdul Hamid
Hakim, Syekh Abdul Latif Rasyidi, Syekh Muhammad Jamil Jambek, dan
Syekh Daud Rasyidi. Sambil mengajar di Diniyah School Putri, ia mengikuti kursus kebidanan di Rumah Sakit Kayu Taman dengan bimbingan Kudi Urai dan Sutan Syahrir, kemudian mendapat izin praktik (1931-1935).
Pada 1 November 1923 dia mendirikan sekolah untuk kaum perempuan dengan nama Madrasah Diniyah lil al-Banat yang dipimpin selama 46 tahun. Ia juga mendirikan Diniyah School Putri di Kwitang dan Tanah Abang pada 2 dan 7 September 1935, di Jatinegara dan Rawasari, Jakarta, pada 1950. Tidak saja untuk pendidikan dasar, tapi berlanjut sampai perguruan tinggi.
Selain berkiprah di dunia pendidikan, ia juga aktif berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada era kemerdekaan, ia bergabung dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Kiprahnya dimulai dari pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 2 Oktober 1945, kemudian mengayomi lasykar pejuang yang dibentuk oleh organisasi Islam seperti Hizbullah dan Sabilillah, memimpin dapur umum untuk TNI dan lasykar pejuang di Padang Panjang.
Pada 1952-1954 ia menjadi anggota Dewan Pimpinan Pusat Masyumi di
Jakarta, dan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1955-1958). Pada 1958 itu berseberangan dengan Presiden Soekarno yang kala itu lebih condong kepada PKI. Itu sebabnya ia kembali ke dunia pendidikan dengan meningkatkan kualitas Diniyah School Putri.
Kiprahnya dalam dunia pendidikan mendapat perhatian Rektor Universitas
Al-Azhar, Kairo, Dr. Syekh Abdurrahman Taj, yang sempat berkunjung ke Diniyah School Putri pada 1955. Pada 1957, ia mendapat gelar sebagai Syaihah oleh Universitas Al-Azhar, setara dengan Syekh Mahmoud Salthout, mantan Rektor Al-Azhar. Ia bepulang ke Rahmatullah pada Rabu 26 Februari 1969 (9 Zulhijah 1388).
Core Vreede dan De Stuers menyatakan ketokohan Rahmah dari dua sisi pertama seperti Ki Hajar Dewantara karena mendirikan sebuah lembaga pendidikan atas inisiati sendiri. Kedua seperi Kartini karena berjuang memperbaiki posisi perempuan melalui pendidikan.
Rahmah memandang mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik pertama dan utam bagi anak-anak yang akan menjadi generasi penerus bangsa. Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum perempuan, baik di bidang intelektual, kepribadian ataupun keterampilan.
Cita-cita pendidikan Rahmah diwujudkannya dengan mendirikan Diniyah Putri pada 1923. Melalui lembaga pendidikan ini Rahmah el-Yunusiyah, memperluas misi kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan bagi kaum perempuan yang akan menyiapkan mereka menjadi warga yang produktif dan muslim yang baik. Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau dan meletakkan tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum perempuan di kepulauan Indonesia. Diniyah Putri adalah akademi agama pertama bagi putri yang didirikan di Indonesia.
Anak–anak perempuan dan perempuan dewasa mungkin saja mendapat dorongan untuk mengaji Al-Qur’an dan shalat; tetapi tidak seperti kaum laki–laki, mereka memiliki sedikit peluang untuk dapat melek aksara Melayu yang menjadi bahasa nasional Indonesia, atau Belanda, sebagai bahasa pendidikan modern. Rahmah el-Yunusiyah percaya bahwa kaum perempuan membutuhkan model pendidikan tersendiri yang terpisah dari laki–laki, karena ajaran Islam memberikan perhatian khusus kepada watak dan peran kaum perempuan dan mereka membutuhkan lingkungan pendidikan tersendiri di mana topik–topik ini bisa dibicarakan secara bebas.
Rahmah merasa bahwa pendidikan bersama (campuran) membatasi kemampuan kaum perempuan untuk menerima pendidikan yang cocok dengan kebutuhan mereka. Rahmah ingin menawarkan kepada anak–anak perempuan pendidikan sekuler dan agama yang setara dengan pendidikan yang tersedia bagi kaum laki–laki, lengkap dengan program pelatihan dalam hal keterampilan yang berguna sehingga kaum perempuan dapat menjadi anggota masyarakat yang produktif. Hal inidapat disimak dari perkataannya sebagai berikut:
“Diniyah School putri akan selalu mengikhtiarkan penerangan agama dan meluaskan kemajuannya kepada perempuan-perempuan yang selama ini susah mendapatkan penerangan agama Islam dengan secukupnya dari kaum lelaki lantaran perempuan segan bertanya kepadanya. Inilah yang menyebabkan terjauhnya perempuan Islam dari penerangan agama sehingga menjadikan kaum perempuan itu rendam karam ke dalam kejahilan. …Saya harus mulai, dan saya yakin akan banyak pengorbanan yang dituntut dari diri saya…Jika kakanda bisa, kenapakah saya, adiknya, tidak bisa. Jika lelaki bisa, kenapa perempuan tidak bisa.”
Tujuan pendidikan perempuan menurut Rahmah adalah meningkatkan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat melalui pendidikan modern yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum perempuan dalam masyarakat tidak dapat diserahkan kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan oleh kaum perempuan sendiri. Melalui lembaga seperti itu, ia berharap bahwa perempuan bisa maju, sehingga pandangan lama yang mensubordinasikan peran perempuan lambat laun akan hilang dan akhirnya kaum perempuan pun akan menemukan kepribadiannya secara utuh dan mandiri dalam mengemban tugasnya sejalan dengan petunjuk agama. Rahmah selalu memohon petunjuk kepada Allah perihal cita-citanya itu, sebagaimana tertuang dalam doanya yang ditulis di buku catatannya:
“Ya Allah Ya Rabbi, bila ada dalam ilmu-Mu apa yang menjadi cita–citaku ini untuk mencerdaskan anak bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang pendidikan dan pengetahuan, ada baiknya Engkau ridhai, maka mudahkanlah Ya Allah jalan menuju cita-citaku itu. Ya Allah, berikanlah yang terbaik untuk hamba-Mu yang lemah ini. Amin”.
Cita-citanya dalam bidang pendidikan perempuan adalah agar semua perempuan Indonesia memperoleh kesempatan penuh menuntut ilmu pengetahuan yang sesuai dengan fitrah wanita sehingga dapat diamalkan dalam kehidupan sehari–hari dan mendidik mereka sanggup berdiri sendiri di atas kekuatan kaki sendiri, yaitu menjadi ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab kepada kesejahteraan bangsa dan tanah air, dimana kehidupan agama mendapat tempat yang layak Rahmah merumuskan cita-cita pendidikanya menjadi tujuan Perguruan Diniyah Putri yang didirikannya, yaitu: “Melaksanakan pendidikan dan pengajaran berdasarkan ajaran Islam dengan tujuan membentuk putri yang berjiwa Islam dan Ibu Pendidik yang cakap, aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air dalam pengabdian kepada Allah subhanahu wa ta’ala”.
Melihat tekad dan kemauan keras Rahmah, kakaknya Zainuddin Labay mendukung cita–citanya. Dalam menjalankan cita-citanya Rahmah sangat meyakini Al-Qur’an surat Muhammad ayat 7 yang artinya: “Hai orang–orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, maka Allah akan menolong kamu pula”. Begitu yakinnya ia akan janji Allah ini sehingga selalu dijadikannya pegangan dalam berbuat kebajikan. Rahmah juga mendasarkan argumennya kepada hadis yang menyatakan bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi semua muslim, laki–laki maupun perempuan. Bunyi hadis ini, kata Rahmah, sering dikutip di hadapan saya oleh laki–laki maupun perempuan Minang sebagai bukti bahwa kaum perempuan muslim diperintahkan oleh Tuhan untuk menuntut ilmu, dan cara terbaik untuk melaksanakan ini adalah dengan masuk sekolah.
Cita–cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan mungkin dipengaruhi oleh pengalamannya dalam menjalani pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat mengecap pendidikan dasar di Padang Panjang, studinya yang mendalam terhadap agama adalah sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad kedua puluh di Minangkabau. Ia memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus dengan beberapa ulama modernis yang terkemuka, dalam pola kaum muda di zamannya. Selain itu, Rahmah belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi maternal, dan mempelajari soal kesehatan dan pemberian pertolongan pertama di bawah bimbingan enam orang dokter kelahiran India. Ia belajar senam dengan seorang guru Belanda di Sekolah Menengah Putri di Padang Panjang. Pada dasarnya Rahmah memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri, pada saat pendidikan formal bagi kaum perempuan hanya tersedia bagi segelintir orang.
Gagasan Rahmah untuk mendirikan pendidikan bagi kaum perempuan sempat dirundingkannya dengan teman–temannya di Persatuan Murid-murid Diniyah School (PMDS) yang ia pimpin, merekapun menyetujui dan mendukung gagasan itu. Maka pada tanggal 1 November 1923, sekolah itu di buka dengan nama Madrasah Diniyah lil al–Banat, dipimpin oleh Rangkayo Rahmah el–Yunusiyah, yang oleh murid–muridnya dari angkatan tiga puluhan akrab dipanggil “ Kak Amah”. Murid angkatan pertama terdiri dari kaum ibu muda berjumlah 71 orang, dengan menggunakan Mesjid Pasar Usang sebagai tempat belajar. Pada waktu itu proses belajar berlangsung dengan sistem halaqah, dan hanya mempelajari ilmu–ilmu agama dan gramatika bahasa Arab.
Dalam mendirikan gedung perguruan ini Rahmah sangat mandiri. Ketika Rahmah mendirikan gedung perguruannya pada tahun 1927 dan mengalami kekurangan biaya penyelesaian gedung tersebut, ia menolak bantuan yang diulurkan kepadanya dengan halus dan bijaksana. Ia ingin memperlihatkan kepada kaum laki-laki bahwa wanita yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki, bahkan bisa melebihinya. Maka secara diplomatis Rahmah mengatakan:
“Usul ini sangat dihargakan oleh pengurus dan guru-guru sekaliannya, akan tetapi buat sementara golongan perempuan (puteri) akan mencoba melayarkan sendiri pencalangnya sampai ke tanah tepi dan mana kala tenaga putri tidak sanggup lagi menyelamatkan pencalang itu, maka dengan sepenuh hati pengharapan guru-guru dan pengurus akan memohonkan kembali usul-usul engku-engku sekarang, kepada engku-engku yang menurut kami patut kami menyerahkan pengharapan kami itu”.
Tampaknya pikiran Rahmah el-Yunusiyah setengah abad yang lalu sejalan dengan pendapat kaum wanita dewasa ini yaitu: “membangun masyarakat tanpa mengikutsertakan kaum wanita adalah sebagai seekor burung yang ingin terbang dengan satu sayap saja. Mendidik seorang wanita berarti mendidik seluruh manusia ”.
Madrasah Diniyah Lil Banat (sekolah agama untuk anak-anak wanita) didirikan Rahmah el-Yunusiyah pada tanggal 1 November 1923. Rahmah mampu memimpin dan mengembangkannya secara mandiri dengan semangat pembaharuan pendidikan yang ditanamkan Labay (kakaknya). Deliar Noer memandang Rahmah sebagai penerus cita–cita Labay. Secara bertahap Rahmah membenahi sistem pengajaran Diniyah School Putri, baik dari segi kurikulum maupun metode. Di samping itu dengan segala kekuatan yang dimiliki ia mengupayakan pengadaan sarana dan prasarana pendidikannya.
Di samping mendirikan Diniyah School Putri, Rahmah juga mendirikan Menyesal School, yaitu sekolah pemberantasan buta huruf di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Sekolah ini didirikan pada tahun 1925 dan berlangsung selama tujuh tahun yaitu sampai tahun 1932. Kemudian sekolah ini tidak dilanjutkan. Untuk menyebarluaskan cita-cita pendidikannya, ia mengadakan perjalanan berkeliling ke daerah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Seme-nanjung Malaya (tahun 1928 dan tahun 1934).
Pada tahun 1935 ia mendirikan tiga buah perguruan putri di Batavia (Jakarta), yaitu di Kwitang, Jatinegara, dan di Tanah Abang. Pada masa pendudukan Jepang, perguruan tersebut tidak dapat di teruskan. Menjelang berakhirnya penjajahan Belanda di Indonesia, Rahmah sempat pula mendirikan empat buah lembaga pendidikan putri baru lainnya sebagai pengganti lembaga pendidikan terdahulu. Pada tahun 1938 ia mendirikan Yunior Institut Putri, sebuah sekolah umum setingkat dengan Sekolah Rakyat pada masa penjajahan Belanda atau Vervolgschool, Islamitisch Hollandse School (HIS) setingkat dengan HIS (Hollandsch Inlandse School), yaitu sekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, sekolah DAMAI (Sekolah Dasar Masyarakat Indonesia) dan Kulliyatul Mu’allimin El Islamiyah (KMI), sekolah Guru Agama Putra pada tahun 1940. KMI Putra ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan guru–guru agama putra yang banyak didirikan oleh masyarakat di Sumatera Barat. Pada zaman Jepang keempat lembaga pendidikan putri tersebut tidak dapat diteruskan.
Pada tahun 1947 Rahmah mendirikan empat buah lembaga pendidikan agama putri dalam bentuk lain, yaitu Diniyah Rendah Putri (SDR) lama pendidikannya tujuh tahun, setingkat dengan Sekolah Dasar enam tahun yang didirikan oleh pemerintah, Sekolah Diniyah Menengah Pertama Putri Bagian A Tiga Tahun (DMP Bagian A), Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B Lima Tahun (DMP Bagian B), dan Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian C Dua Tahun (DMP Bagian C). Tiga buah sekolah yang disebut terakhir setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama ( SMP ) dengan bidang studi agama dan bahasa Arab menjadi mata pelajaran pokok.
Tahun 1964, Rahmah mendirikan Akademi Diniyah Putri yang lama pendidikannya tiga tahun. Tanggal 22 November 1967, Akademi ini dijadikan Fakultas Dirasat Islamiyah dan merupakan fakultas dari Perguruan Tinggi Diniyah Putri. Fakultas ini “diakui” sama dengan Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) untuk tingkat Sarjana Muda dengan SK Menteri Agama RI No. 117 tahun 1967.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Rahmah menganut sistem pendidikan terpadu, yaitu : memadukan pendidkan yang diperoleh dari rumah tangga, pendidikan yang diterima sekolah dan pendidikan yang diperoleh dari masyarakat di dalam pendidikan asrama. Dengan sistem terpadu ini, teori ilmu pengetahuan dan agama serta pengalaman yang dibawa oleh masing–masing murid dipraktekkan dan disempurnakan dalam pendidikan asrama di bawah asuhan guru–guru asrama.
Kurikulum di sekolah-sekolah Rahmah terdiri dari kelompok bidang studi agama, bahasa Arab, ilmu pengetahuan dan kelompok bidang studi ini di orientasikan kepada pembentukan pribadi muslimah dan kualitas diri. Dewasa ini lembaga pendidikan yang dikelola oleh para penerusnya adalah Sekolah Diniyah Menengah Pertama Bagian B dan C, Kulliyatul Mu’allimat el- Islamiyah dan perguruan Diniyah Putri. Seperti sekolah–sekolah Islam kontemporer lainnya di Sumatera Barat, Diniyah Putri menawarkan tiga ijasah: satu miliknya sendiri, satu untuk pendidikan sekolah umum, dan satu pendidikan Islam yang diakui oleh pemerintah. Sehingga siswa-siswa memenuhi syarat untuk masuk ke universitas umum maupun universitas Islam.
Di lingkungan Diniyah Putri, corak saling melengkapi antara adat dan Islam ditekankan. Dalam perspektif yang didukung oleh kaum modernis Minang, tatanan sosial dan adat membentuk tatanan moral yang dilegitimasikan oleh Islam. Dalam tatanan suci ini ,adat dan Islam dipandang menyatu bukan dari segi yang spesifik, melainkan dari segi kandungan dan semangatnya. Rahmah mengutamakan bidang pendidikan di atas kepentingan lainnya, meskipun di kemudian hari ia juga berkiprah di dunia politik. Atas dasar ini ia menempatkan sekolah secara independen, bebas dari afiliasi dengan ormas atau orpol manapun. Setahun sebelum Muhammadiyah memasuki Minangkabau, Diniyah School Putri diajak bergabung dengan organisasi sosial–keagamaan dan disarankan agar namanya diganti dengan Asyiyah School atau Fatimiyah School. Namun saran tersebut tidak di terima oleh para guru diniyah School Putri.
Independensi sekolah ini juga ditunjukkan saat diselenggarakan permusyawaratan besar guru-guru agama Islam se-Minangkabau yang ada di bawah Permi di padang panjang pada tahun 1931. Wakil dari guru Diniyah School Putra maupun Putri yang datang sebagai pendengar dan tidak memberi respons; tidak ada seorang pun dari guru-guru sekolah ini yang duduk di Dewan Pengajaran Permi yang bertugas untuk menyatukan pelajaran sekolah-sekolah Islam. Sebagai pemimpin Permi, Mukhtar Lutfi mempertanyakan hal tersebut. Rahmah pun mengemukakan pendapatnya, “Biarkan perguruan ini terasing selama-lamanya dari partai politik, dan tinggalkanlah ia menjadi urusan dan tanggungan orang banyak (umum), sekalipun umum itu dalam aliran politiknya bermacam warna dan ragam, tapi untuk perguruan dan penanggung jawab atasnya haruslah mereka itu satu adanya” .
Lebih jauh independensi sekolah ini juga ditunjukkan Rahmah ketika dia menolak upaya penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau oleh Mahmud Yunus. Seperti diketahui, pada tahun 1930-an ini pembaharuan sekolah agama berkembang pesat, namun tidak ada keseragaman program atau buku standar yang digunakan. Melihat keadan ini Mahmud Yunus alumni Universitas Cairo yang saat itu menjadi Direktur Normal School, ingin menerapkan konsep pembaharuan pendidikannya dan memprakarsai pembentukan Panitia Islah al-Madaris al- Islamiyah Sumatera Barat. Namun Rahmah tetap teguh pada pendirian independensi sekolahnya, maka ia menolak keras ide itu.
Menurutnya, lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda. Diniyah School pun tidak akan terikat dengan keputusan permusyawa-ratan itu. Kondisi sekolah-sekolah agama tersebut masih seperti semula hingga 1936, yakni setelah konferensi seluruh organisasi berhasil dalam standarisasi sekolah-sekolah agama kaum muda. Berhadapan dengan politik kolonialisme pemerintahan Belanda, Rahmah memilih sikap nonkooperatif dalam memperjuangkan kelangsungan sekolah yang dipimpinnya. Atas dasar sikap ini, ia menolak bekerja sama dengan Belanda termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan. Subsidi pemerintah kolonial akan membuat dirinya terikat, dan mengakibatkan keleluasan pemerintah kolonial mempengaruhi pengelolaan program pendidikan Diniyah School Putri ini. Kondisi seperti itu telah di alami Adabiyah School yang pada tahun 1915 menerima subsidi pemerintah kolonial.
Dengan tegas dan bijaksana Rahmah menyatakan bahwa perguruannya akan berusaha dengan kekuatan sendiri menanggulangi berbagai kesulitan yang dihadapi. Independensi sekolah ini sangat dikhawatirkan oleh pemerintah kalau di kemudian hari akan melahirkan tokoh-tokoh pejuang yang militan, sebagaimana yang pernah dilakukan surau-surau dalam mencetak tokoh-tokoh pembaharu dan pejuang perang paderi. Sikap independen dan nonkooperatif tersebut, di samping menggambarkan ciri khas kepriba-diannya yang gigih, juga merupakan respons terhadap situasi politik saat itu demi kelangsungan visi sekolahnya.
Begitu pula organisasi kependidikan dan gerakan yang diprakarsainya, praktis visi yang sama : seperti “Perikatan Guru-Guru Agama Putri Islam” (PGAPI) yang didirikan pada tahun 1933 untuk menghimpun guru-guru yang tidak bergabung dengan Dewan Pengajaran Permi. Kemudian “Komite Penolakan Ordonansi Sekolah Liar” (1933) didirikan untuk menentang kebijaksanaan pemerintah kolonial yang memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar (1932) di Sumatera Barat.
Pada mulanya Diniyah Putri muncul sebagai tantangan terhadap adat, dalam hal ini kaum perempuan ingin melangkah melampaui urusan rumah tangga. Dengan menggapai peran-peran diluar rumah yang dapat didukung oleh penafsiran kaum modernis terhadap Islam, oleh karena itu kaum perempuan memperluas cakrawala, jaringan, dan kemampuan mereka untuk berpartisipasi di dalam wacana muslim dan nasionalis yang lebih luas. Kaum perempuan Minang memiliki strategi alternatif, selain yang disuarakan oleh Diniyah Putri menyangkut soal bagaimana menjadi Seorang Muslim dan seorang Minang. Namun demikian Diniyah terus memperlihatkan keinginan untuk menghadapi isu-isu kontemporer yang relevan bagi kaum perempuan dan masyarakat.


E.     Daftar Pustaka
Aminuddin Rasyad, Rahmah El Yunusiyah, Kartini dari Perguruan Islam, dalam “Manusia dalam Kemelut Sejarah” . Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial. Jakarta. 1978
Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942. LP3ES. Jakarta:1996
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999